Rabu, 02 Juli 2014

“Pengelolaan Sumberdaya Ikan Teri Dengan Alat Tangkap Payang Jabur Melalui Pendekatan Bio-Ekonomi di Perairan Tegal”

PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN TERI DENGAN ALAT TANGKAP PAYANG JABUR
MELALUI PENDEKATAN BIO-EKONOMI
DI PERAIRAN TEGAL




I. PENDAHULUAN
Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai potensi perikanan laut yang besar. Potensi sumber daya ikan di laut Indonesia diperkirakan mencapai 6,7 juta ton per Tahun (BBPMHP 1996). Salah satu potensi perikanan laut tersebut adalah ikan teri. Ikan teri menempati posisi penting diantara 55 spesies ikan yang memiliki nilai ekonomis setelah ikan layang, kembung, lemuru, tembang dan tongkol. Ikan teri dari Indonesia telah banyak diekspor ke beberapa negara seperti Singapura, Malaysia, China dan Jepang. Volume ekspor ikan teri Indonesia tiap tahun mengalami peningkatan, yaitu pada Tahun 2001 mencapai 1.980 ton dengan nilai 7.930.000 US$, meningkat menjadi 1.999 ton pada Tahun 2002 dengan nilai 11.890.000 US$. Pada Tahun 2005, volume ekspor ikan teri meningkat tajam menjadi 2.443 ton dengan nilai 16.287.284 US$ dan Tahun 2006 meningkat sebesar 5% menjadi 2.579 ton dengan nilai 16.437.255 US$ (STP 2008). Untuk konsumsi dalam negeri, ikan teri banyak dipasarkan ke hampir seluruh kota di Indonesia.
Ikan teri (Stolephorus spp) merupakan jenis ikan kecil yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Seperti jenis ikan laut lainnya, ikan teri juga memiliki kandungan protein tinggi. Salah satu keistimewaan ikan teri dibandingkan dengan ikan lainnya adalah bentuk tubuhnya yang kecil, sehingga mudah dan praktis dikonsumsi oleh semua umur. Ikan teri merupakan salah satu sumber kalsium terbaik untuk mencegah pengeroposan tulang. Sumberdaya ikan pada umumnya bersifat open access. Hal ini menyebabkan setiap orang berpartisipasi dan tidak ada batasan mengenai besarnya upaya penangkapan yang dikerahkan atau sumberdaya ikan yang boleh ditangkap. Sumberdaya ikan termasuk sumberdaya yang dapat pulih (renewable resources), tetapi usaha penangkapan yang terus meningkat tanpa adanya pembatasan akan menyebabkan habisnya sumberdaya tersebut. Naamin N (1984) menyatakan bahwa penambahan jumlah upaya penangkapan pada batas tertentu akan menyebabkan peningkatan produksi, tetapi apabila terus terjadi penambahan jumlah upaya, maka pada suatu saat akan terjadi penurunan stok.
Pengelolaan yang optimal terhadap usaha penangkapan ikan teri dapat dilakukan menggunakan model bioekonomi. Model bioekonomi merupakan perpaduan antara dinamika biologi sumberdaya perikanan dan faktor ekonomi yang mempengaruhi perikanan tangkap, sedangkan untuk aspek tekniknya berupa penyesuaian ukuran alat tangkap dan teknologi yang digunakan dengan ukuran ikan teri yang akan ditangkap, serta metode pengoperasiannya. Apabila hal tersebut berhasil dilakukan, maka kerusakan sumberdaya ikan teri dapat dicegah dan mendorong terciptanya operasi penangkapan ikan teri dengan keberhasilan yang tinggi tanpa merusak kelestarian sumberdaya ikan teri, serta memberikan hasil tangkapan dan keuntungan yang maksimum.
Oleh karena itu dalam penelitian lanjutan ini akan dikaji pengelolaan sumberdaya ikan Teri ditinjau dari aspek bio-ekonomi dengan memperhatikan tingkat pengusahaan sumberdaya ikan Teri terhadap biaya penangkapan setiap kilogram ikan pada tingkat produksi lestari. Mengingat peningkatan teknologi penangkapan akan berkaitan dengan masalah kelimpahan/kesediaan stok sumberdaya perikanan, produksi dan karakteristik ekonominya, maka untuk mengkajinya digunakan pendekatan bioekonomi. Dengan pendekatan ini akan diperoleh suatu konsep bagaimana pengelolaan sumberdaya perikanan akan tetap lestari dan menguntungkan dari sudut ekonomi.

















PEMBAHASAN

2.1. Sumberdaya ikan teri
Ikan teri (Stolephorus sp) mempunyai daerah penyebaran yang luas. Daerah penyebaran ikan teri di Indonesia pada posisi antara 95 0BT – 140 0BT dan 10 0LU – 10 0LS, dengan kata lain mencakup hampir seluruh wilayah Indonesia (STP 2008). Ikan teri termasuk dalam kelompok ikan pelagis kecil yang banyak hidup di perairan pantai.

Klasifikasi ikan teri menurut (Saanin H 1968) adalah sebagai berikut:
Phylum: Chordata
Kelas: Pisces
Ordo: Malacopterygii
Famili: Clupeidae
Genus: Stolephorus
Spesies: Stolephorus sp

Teri memiliki bentuk badan memanjang (fusiform), hampir silindris, atau termampat samping (compressed), perut bulat dengan 3-4 sisik duri seperti jarum yang terdapat diantara sirip dada dan perut. Memiliki sisik abdominal yang berujung tajam (abdominal scute) pada lunas tubuhnya. Mulut teri lebar, moncong yang menonjol, serta rahang yang dilengkapi dengan dua tulang tambahan (suplemental bones). Di samping tubuhnya terdapat selempang putih keperakperakan memanjang dari kepala sampai ekor. Sisiknya kecil dan tipis, serta sangat mudah lepas. Sirip dorsal umumnya tanpa duri pradorsal, sebagian atau seluruhnya di belakang anus, pendek dengan jari-jari lemah sekitar 16 – 23 buah. Sirip ekor bertipe cagak, tidak bergabung dengan sirip anal, serta duri abdominal hanya terdapat antara sirip pectoral dan ventral, berjumlah tidak lebih dari 7 buah. Membentuk gerombolan besar dan bersifat pemakan plankton. Umumnya tidak berwarna atau agak kemerah-merahan. Umumnya ukuran tubuh kecil antara 6 – 9 cm, tetapi ada juga yang dapat mencapai 17,5 cm

Alat Penangkap Teri
Bagan terdiri atas komponen-komponen tiang pancang, jaring bagan, rumah bagan, serok dan lampu. Jaring bagan umumnya berukuran 9 x 9 m dan bahan jaring terbuat dari nilon, kadang menggunakan bahan dari jaring karuna. Jaring tersebut diikatkan pada bingkai berbentuk bujur sangkar yang terbuat dari bambu atau kayu, tetapi kadang juga tanpa diberi bingkai (bagan perahu) (Subani W dan HR Barus 1989). Bangunan bagan terbuat dari bambu atau kayu yang berukuran bagian bawah 10 x 10 m, sedang bagian atasnya berukuran 9,5 x 9,5 m. Bagian atas bangunan bagan dinamakan plataran bagan, disini terdapat alat penggulung (roller) yang berfungsi untuk menurunkan dan mengangkat jaring bagan pada waktu operasi penangkapan ikan berlangsung. Bagan hanya dioperasikan pada malam hari terutama pada hari gelap bulan, menggunakan lampu sebagai alat bantu penangkapan (Subani W dan HR Barus 1989).
Dilihat dari bentuk dan cara pengoperasiannya bagan dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu bagan tancap, bagan rakit dan bagan perahu (Subani W dan HR Barus 1989), yaitu:
(a) Bagan tancap
Sesuai dengan namanya, kedudukan bagan tancap tidak dapat dipindah-pindahkan dan sekali dipasang berarti berlaku untuk selama musim penangkapan ikan. Konstruksi bagan tancap (Gambar 2) ini berupa anjang-anjang berbentuk piramida terpancung, berukuran 10 x 10 m pada bagian bawah dan 9,5 x 9,5 m pada bagian atas. Bagian atas berupa pelataran (flat form), diantaranya terdapat penggulung (roller) dan merupakan tempat nelayan melakukan kegiatan penangkapan.
https://encrypted-tbn2.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcRcKt-RxTBiH-9nMoK7pINPJnLZyU1rnrKQseUhno5f-_eLOcNWHw
https://encrypted-tbn1.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcQhR-uBw--dXctknH4wqMae40y5Tf1TJqHk5f7VqYa1nfOVk3ioNg

(b) Bagan rakit
Bagan rakit (Gambar 3) adalah jaring angkat yang dalam pengoperasiannya dapat dipindah-pindahkan di tempat-tempat yang diperkirakan banyak ikan. Seperti halnya bagan tancap, pada bagan rakit juga terdapat anjang-anjang. Disamping kanan dan kiri bagian bawah bagan ditempatkan rakit dari bambu sebagai alat apung. https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjzlqt-BqB-5-bYE_IvK3dHGREVDmgi5cBN4F91ApViP3wH0yQMZbKQTJ1WY003zx7AvtaIPbC4IAtZpJG54nYgvlDaANqwEV3Bkc4A-ExLSJtt7evKDgayehVlBl7Mb0zByt3rnmnvEDY/s400/Jaring+Angkat.jpg


(c) Bagan perahu
Dibanding bagan rakit, bentuk bagan perahu (Gambar 4) ini lebih sederhana dan lebih ringan, sehingga memudahkan dalam pemindahan ke tempat-tempat yang dikehendaki. Bagan perahu dibangun dari dua buah perahu, pada bagian depan dan belakang dihubungkan dengan dua batang bambu sehingga berbentuk bujur sangkar. Pada waktu operasi penangkapan ikan, baik “bagan rakit” maupun “bagan perahu”, bagan dilabuh dengan menggunakan jangkar.
https://encrypted-tbn0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcRRcP_72nWNWUYOB1dDziwBso9GsY3UKIEmc1pGRmaP-6UzzD84







Payang termasuk alat penangkapan tradisional yang keberadaannya untuk perikanan laut Indonesia sampai saat ini tetap dianggap penting baik dilihat dari produktivitamaupun penyerapan tenaga kerja. Dalam perkembangannya alat tangkap Payang jabur di Tegal sudah dikenal dan dipergunakan oleh nelayan setempat sejak masa penjajahan Belanda. Alat tangkap Payang jabur dalam perkembangannya pernah mengalami kejayaan pada tahun 70-an. Hasil tangkapan utama alat tangkap Payang jabur adalah jenis ikan Teri, yang terdiri dari dua jenis yaitu Teri nasi dan Teri jawa. Usaha penangkapan Payang jabur di Tegal merupakan salah satu penopang utama perekonomian masyarakat pesisir Tegal, dan sebagai penyuplai bahan baku industri pengolahan ikan Teri nasi di daerah Pemalang dan Kendal. Produksi dan nilai produksi ikan Teri di perairan terdiri dari dua jenis, yaitu Teri nasi dan Teri jawa.
Pengelolaan Sumberdaya secara Ekonomi Tingkat pemanfaatan pada tahun 2003, tingkat upaya penangkapan sebesar 23.634 trip dengan produksi hasil tangkapan ikan Teri sebesar 649.794 kg. Hal ini berarti telah melebihi Maximum Sustainable Yield diperoleh tingkat upaya penangkapan optimum sebesar 19.576,77 trip dan stok maksimum lestari sumberdaya Teri dengan alat tangkap Payang jabur di perairan Tegal sebesar 676.588,06 kg/tahun. Sedangkan Maximum Economic Yield diperoleh tingkat upaya penangkapan optimum sebesar 18.778,07 trip dan stok maksimum lestari sumberdaya Teri dengan alat tangkap Payang jabur di perairan Tegal sebesar 675.461,86 kg/tahun. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa pengelolaan sumberdaya kan Teri, baik Teri nasi maupun Teri jawa telah mengalami lebih tangkap (over fishing).
Kecenderungan terjadinya over fishing ditandai dengan hasil tangkapan yang semakin kecil dari tahun ke tahun. lebih tinggi dari pada Teri jawa. Purwanto (2003) menyatakan bahwa perkembangan usaha penangkapan ikan sebenarnya tidak terlepas dari berbagai kekuatan ekonomi yang mempengaruhinya. Biaya penangkapan dan harga ikan merupakan dua faktor utama yang menentukan perkembangan industri perikanan tangkap. keuntungan, yang merupakan surplus dari perolehan usaha penangkapan ikan mendorong nelayan untuk mengembangkan armada penangkapannya. Selanjutnya dikatakan bahwa pada saat upaya penangkapan masih relatif rendah, peningkatan upaya penangkapan diikuti oleh peningkatan perolehan mencapai maksimum. Setelah itu, perolehan menurun dengan semakin meningkatnya intensitas penangkapan.
Sedangkan menurut Nikijuluw (2002), dalam pengendalian sumberdaya perikanan dapat dilakukan dengan cara pengendalian ekonomi, yaitu suatu pengendalian sumberdaya menggunakan variabel ekonomi sebagai instrumen pengendalian upaya penangkapan. Kegiatan penangkapan ikan sebagai suatu usaha atau kegiatan ekonomi dapat diberi insentif untuk tumbuh atau sebaliknya disinsentif untuk tidak tumbuh dengan cara manipulasi atau mengubah salah satu variabel ekonomi yang berpengaruh pada eksistensi dan keberlangsungan kegiatan ekonomi tersebut. Variabel ekonomi yang dipergunakan terdiri dari harga ikan, harga faktor input, subsidi, pajak, biaya untuk memperoleh izin. Intensitas penangkapan ikan sebesarnya tidak hanya ditentukan oleh faktor biologi tetapi juga oleh kekuatan ekonomi.
Oleh karena itu, untuk melihat dampak perubahan teknologi penangkapan terhadap perkembangan perikanan, perlu dianalisi tingkat kesetimbangan ekonomi yang akan dicapai oleh industri penangkapan ikan tersebut. Pada perikanan terbuka dengan sifat pemilikan bersama atas sediaan ikan, industri penangkapan ikan akan berkembang hingga dicapai keseimbangan bionomis. Pada kesetimbangan tersebut biaya penangkapan rata-rata per satuan berat ikan setara dengan harga jual ikan. Tingkat perubahan perolehan nelayan dari usaha penangkapan ikan dan perkembangan industri penangkapan ikan sebagai dampak dari perubahan teknologi penangkapan ditentukan pada elastisitas harga permintaan (Purwanto, 1988).
Purwanto (2003) menyatakan bahwa pemanfaatan sumberdaya ikan secara berlebihan akan mengakibatkan hilangnya manfaat ekonomi yang sebenarnya dapat diperoleh bila pemanfaatan sumberdaya dilaksanakan secara benar. Hal ini menjadi salah satu penyebab kemiskinan nelayan pada daerah padat penangkapan. Berdasarkan hasil penelitian bahwa perikanan Payang jabur dengan hasil tangkapan utama ikan Teri memperoleh keuntungan yang maksimal terjadi pada tingkat pemanfaatan antara EMEY sebesar 16.277,80 trip dan EMSY sebesar 18.243,61 trip. Sedangkan tingkat upaya penangkapan Payang jabur pada tahun 2003 mencapai 23.634 trip. Hal ini berarti tingkat upaya Payang jabur di perairan Tegal pada saat ini telah lebih tangkap (over fishing). Pengelolaan sumberdaya Teri telah melebihi MSY dan dalam segi keuntungan (profit) dengan peningkatan upaya penangkapan dari tahun ke tahun akan mengurangi tingkat keuntungan dan sampai pada akhirnya jika tingkat upaya terus meningkat maka akan terjadi total pembiayaan (TC) sama dengan total penerimaan (TR). Bila upaya penangkapan sumberdaya Teri dengan menggunakan alat tangkap Payang jabur meningkat dari tahun ke tahun akan mengakibatkan kemiskinan pada nelayan secara struktur. Menurut Dahuri (2000a), yang menyebabkan nelayan mengalami kemiskinan secara terstruktur, sebagai berikut :
1. Biaya tinggi yang harus dibayar
2. Penerimaan yang rendah dari penjualan ikan hasil tangkapan. Dalam pemberdayaan nelayan sebagai komponen utama masyarakat pesisir merupakan kegiatan yang multi-aspek, menyangkut banyak variabel dan melibatkan banyak orang atau pihak, tidak saja dibatasi oleh dimensi ekonomi tetapi juga aspek sosial, budaya dan karakter, dimensi teknis, biologis sumberdaya, serta dimensi prasarana usaha. Selain itu juga terdapat faktor-faktor eksternal di luar kontrol nelayan yang ikut mempengaruhi kondisi dan derajat kehidupan nelayan sehingga membuat pemberdayaan nelayan menjadi sulit.
Analisis Musim Penangkapan
Daerah penangkapan ikan Teri di perairan pantai Tegal baik secara spasial maupun temporal, tidak terlalu banyak mengalami perubahan yang berarti. Secara spasial daerah penangkapan selalu berada di sekitar perairan karang jeruk, sedangkan secara temporal kegiatan penangkapan ikan Teri di perairan pantai Tegal dilakukan hampir sepanjang tahun tanpa mengalami fluktuatif musiman yang mencolok. Berdasarkan perhitungan time series terhadap “Indeks Musiman” dengan menggunakan metode persentase rata-rata jalan PRD (Method of Percentage Moving Average) diperoleh bahwa upaya usaha CPUE alat tangkap Payang jabur di Tegal sangat fluktuatif pada tiap bulannya berkisar antara 82,45 % sampai dengan 118,31 %. Indeks Musiman tertinggi terjadi pada bulan April sebesar 118,31 %, sedangkan terendah terjadi pada bulan Nopember sebesar 82,45 %. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan penangkapan ikan Teri di perairan pantai Tegal terjadi sepanjang tahun, dengan hasil tangkapan yang relatif merata setiap bulannya. Menurut Hurasan et al (1994) dalam penelitian pemataan lokasi dan musim penangkapan ikan umpan hidup yang didominasi jenis ikan puri (Stolephorus spp) di sekitar perairan Maluku Tengah, mendapatkan bahwa musim penangkapan jenis ikan ini terjadi pada bulan Nopember sampai dengan April.
Pengelolaan Sumberdaya Ikan Teri
dengan Payang Jabur
Berdasarkan perhitungan MSY dan MEY menunjukkan bahwa besarnya upaya penangkapan alat tangkap Payang jabur sudah mengalami lebih tangkap (over fishing). Walaupun kondisi penangkapan ikan Teri telah over fishing tetapi kegiatan penangkapan Teri tetap intensif bahkan terus berkembang, terlihat dari jumlah alat tangkap yang semakin banyak tiap tahunnya. Hal ini terjadi karena harga jual Teri cenderung tinggi terutama harga Teri nasi, akibatnya nelayan tetap melakukan kegiatan penangkapan ikan Teri dengan menggunakan alat tangkap Payang jabur.
Dengan pengelolaan sumberdaya perikanan yang benar, maka populasi ikan dapat dimanfaatkan tanpa harus mengurasnya sampai habis dengan cara melakukan penangkapan ikan secara terus menerus yang dapat mengakibatkan efek membahayakan bagi persediaan ikan (over fishing). Oleh karena itu ada dua cara penangkapan yang berbeda, yaitu :
1. Menangkap ikan-ikan yang berukuran besar saja dari suatu populasi akan menyebabkan turunnya ukuran ikan secara perlahan-lahan. Akibatnya para nelayan akan menangkap ikan yang rata-rata berukuran kecil sehingga mereka harus membutuhkan upaya yang lebih besar agar supaya dapat menjaga jumlah hasil tangkapan yang sama (dalam berat)
2. Penangkapan yang intensif dapat mengakibatkan turunnya jumlah hasil tangkapan secara keseluruhan dan hal ini juga memaksa para nelayan untuk menaikkan usaha penangkapan mereka agar dapat menjaga jumlah tangkapan yang sama. Dalam keadaan yang terlalu ekstrim penangkapan ikan yan intensif dapat menyebabkan kerusakan stok ikan secara total. Effendi (1997) menyarankan bahwa dalam pengoperasian alat tangkap tetap harus dilakukan secara hati-hati dengan pembatasan jumlah alat tangkap, mengurangi jumlah kapal yang beroperasi, membatasi ukuran mata jaring, tidak melebihi kondisi MSY dari stok ikan yang ada. Sedangkan menurut Hutabarat (2002), untuk mengatasi masalah sumberdaya perikanan di Indonesia, pemerintah telah memberikan petunjuk petunjuk kebijaksanaan pengelolaan dalam menangani masalah pembangunan sektor perikanan dan kelautan untuk masa kini dan masa mendatang dengan :
1. Memanfaatkan sumberdaya atau jasa kelautan secara optimal, efisien dan berkelanjutan
2. Meningkatkan pengawasan dan pengendalian sumberdaya kelautan dan perikanan
3. Merehabilitasi ekosistem habitat pesisir dan laut
4. Menerapkan IPTEK dan manajemen profesional pada setiap mata rantai usaha bidang kelautan dan perikanan.
5. Membangun dukungan kebijakan fiskal dan moneter yang kondusif
6. Memberdayakan sosial ekonomi masyarakat kelautan dan perikanan
7. Mengembangkan dan memperkuat jaringan ekonomi
8. Mengembangkan dan memperkuat sistem informasi kelautan dan perikanan
9. Mengembangkan sistem dan mekanisme hukum dan kelembagaan hukum dan kelembagaan nasional dan internasional
10. Menanamkan wawasan kelautan pada seluruh masyarakat. Pemerintah dalam membangun
sektor perikanan dan kelautan mencakup empat misi, yaitu :
1. Peningkatkan peran sektor perikanan dan kelautan sebagai sumber sebagai sumber pertumbuhan ekonomi
2. Peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir, perikanan dan kelautan, khususnya nelayan dan petani ikan kecil
3. Pemeliharaan dan peningkatan daya dukung serta kualitas lingkungan perairan tawar, pesisir, pulau-pulau kecil dan lautan
4. Memelihara persatuan dan kesatuan bangsa Penurunan jumlah stok ikan di perairan Jawa juga didukung oleh beberapa hasil survai, antara lain oleh Bappenas (2002) yang menyatakan bahwa dalam pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan dibeberapa lokasi pemanfaatan telah mengalami tingkat pemanfaatan yang tinggi (over exploitation).
Kondisi ini berdampak negatif terhadap keanekaragaman komunitas ikan di perairan dan tingkat pendapatan nelayan. Selain itu, kerusakan lingkungan wilayah laut dan pesisir semakin meningkatm baik berupa kerusakan fisik habitat ekosistem pesisir maupun pencemaran. Hutabarat (2002) menyatakan bahwa sumberdaya perikanan merupakan sumberdaya yang bersifat dapat diperbaharui (renewable), namun dalamn memperbaharui kembali dirinya berjalan secara lambat sekali. Jika dieksploitasi jauh melebihi dari kemampuan sumberdaya untuk membentuk diri kembali, mengakibatkan sumberdaya tersebut menjadi tidak dapat diperbaharui lagi (non renewable). Pengelolaan sumberdaya perikanan yang baik yaitu dengan memanfaatkan populasi ikan tanpa harus menguras habis sumberdaya perikanan tersebut. Jika pengelolaan sumberdaya perikanan dilakukan dengan cara melakukan penangkapan ikan secara terus menerus tanpa memperhitungkan kemampuan sumberdaya tersebut untuk memperbaharui, akan membahayakan bagi persediaan ikan (over fishing). Oleh karena itu, terdapat empat persyaratan yang harus dipenuhi oleh suatu jenis alat tangkap ikan untuk dikembangkan, yaitu :
1. Aspek biologi, pengoperasian alat tangkap tersebut tidak mengganggu atau merusak kelestarian sumberdaya perikanan.
2. Aspek teknis, alat tangkap tersebut efektif untuk dioperasikan
3. Aspek sosial, alat tangkap tersebut dapat diTerima oleh masyarakat
4. Aspek ekonomi, usaha penangkapan tersebut bersifat menguntungkan. Dahuri (2000b) menyatakan bahwa Kawasan pesisir sarat dengan masalahmasalah sosial ekonomi dan budaya yang memiliki implikasi terhadap pengelolaan wilayah pesisir.
Masalah yang sangat menonjol, yaitu bahwa kawasan pesisir umumnya memiliki status sebagai sumberdaya milik bersama. Hal ini berarti bahwa sumberdaya kawasan pesisir ini tidak dimiliki oleh siapapun dan/atau dimiliki oleh setiap orang. Akibatnya pemanfaatan sumberdaya pesisir menjadi
tidak bisa dikontrol, karena tidak ada keputusan kolektif. Kelebihan pemanfaatan eksploitasi sumberdaya terjadi dimanamana yang akhirnya membuat sumberdaya rusak dan memberikan produktivitas, hasil dan pendapatan yang rendah. Hal ini terjadi pula pada pengelolaan sumberdaya ikan Teri dengan alat tangkap Payang jabur di perairan Tegal. Pengelolaan sumber daya perikanan menunjukkan trend semakin meningkat dan mendekati pemanfaatan maksimum, yaitu titik dimana eksploitasi telah mendekati kondisi yang membahayakan bagi kelestarian lingkungan dan sumberdaya alam. Berbagai resiko dan kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas manusia tersebut apabila dibiarkan akan menjadi ancaman bagi kelestarian sumberdaya alam itu sendiri dan lingkungan sekitar. Kondisi di atas dapat terjadi antara lain dikarenakan oleh anggapan masyarakat bahwa sumberdaya perikanan dan kelautan merupakan sumberdaya milik bersama, sehingga setiap orang atau pemanfaat berlomba-lomba untuk memanfaatkan sumberdaya tersebut tanpa adanya satupun aturan yang membatasinya. Hal ini dilakukan karena setiap orang atau pemanfaat mempunyai asumsi bahwa orang lain juga akan memanfaatkan sumberdaya tersebut bila tidak dimanfaatkan semaksimal mungkin.
Pengelolaan sumberdaya perikanan yang baik akan memberikan status pemanfaatan sumberdaya yang dapat diatus sedemikian rupa sehingga keadaan sumberdaya dapat berkelanjutan (lestari). Dengan demikian generasi saat ini dapat memanfaatkan sumberdaya secara optimal tanpa mengurangi kesempatan bagi generasi yang akan datang untuk ikut pula menikmatinya. Dalam pengelolaan potensi wilayah pesisir dan laut yang lestari (sustainable) menjadi sangat penting baik bagi masyarakat pesisir itu sendiri (nelayan), pemerintah, maupun bagi pihakpihak yang berkepentingan dengan lingkungan pesisir dan laut tersebut.
Salah satu usaha dalam pengelolaan sumberdaya secara lestasi ditempuh dengan jalan PengelolaanSumberdaya Perikanan Berbasis Komunitas. Dalam Pengelolaan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berbasis Komunitas ini, yang dimaksud dengan masyarakat adalah segenap komponen yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam pemanfaatan dan pengeloaan sumberdaya pesisir dan lautan, diantaranya adalah masyarakat lokal, LSM, swasta, perguruan tinggi dan kalangan peneliti lainnya. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berbasis Komunitas dapat diartikan sebagai suatu strategi untuk mencapai pembangunan yang berpusat pada masyarakat dan dilakukan secara terpadu dengan memperhatikan dua aspek kebijakan, yaitu aspek ekonomi dan ekologi, dimana dalam pelaksanaannya terjadi pembagian tanggung jawab dan wewenang antara pemerintah disemua level dalam lingkup pemerintahan maupun sektoral dengan pengguna sumberdaya alam (masyarakat) dalam pengelolaan sumberdaya pesisir (Dahuri et al, 2001) Pemanfaatan potensi sumberdaya perikanan laut di perairan pantai Utara Jawa (Laut Jawa) telah mengalami lebih tangkap (over fishing). Menurut Departemen Kelautan dan Perikanan dan Puslitbang Oseanografi LIPI (2001), tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan laut secara keseluruhan di Laut Jawa tahun 2001 telah mencapai 137,38 % dengan potensi sumberdaya ikan pelagis kecil sebesar 340 ton per tahun, sedangkan produksinya sekitar 507,53 ton per tahun atau sekitar 149,27 % dari potensi sumberdaya perikanan. Untuk mengatasi hasil tangkapan yang cenderung mengalami penurunan dilakukan upaya-upaya pemulihan sumberdaya perikanan, antara lain :
1. Penyuluhan tentang :
a. Kondisi sumberdaya yang ada
b. Jumlah alat tangkap optimum
c. Akan adanya over fishing.
2. Sosialisasi kegiatan-kegiatan pelestarian sumberdaya, melalui :
a. Diversifikasi jenis alat tangkapdengan alat tangkap yang ramah lingkungan, seperti gill net.
b. Pembatasan waktu penangkapan ikan agar memberi kesempatan pada ikan untuk melakukan pemijahan
c. Zonasi wilayah penangkapan yang mengalami over fishing
3. Pengurangan jumlah trip sampai 25,86% untuk hasil tangkapan Teri secara umum, untuk Teri nasi sebesar 19,60 %, sedangkan untuk Teri jawa sebesar 34,65 %.
4. Pembatasan kouta penangkapan Payang jabur dengan hasil tangkapan ikan Teri sebesar 28,58 kg/trip. Untuk Teri nasi sebesar 14,92 kg/trip, sedangkan Teri jawa sebesar 13,21 kg/trip.
 Pembatasan kuota penangkapan ini bertujuan untuk mempertahankan harga jual ikan Teri, baik Teri nasi maupun Teri Jawa di pasaran agar tetap tinggi, sehingga meskipun volume penangkapan rendah tetapi nelayan tetap mendapatkan keuntungan yang cukup. Karena semakin banyak volume penangkapan atau tinggi penawaran akan berakibat penurunan harga ikan. Dalam pengelolaan sumberdaya perikanan harus dilakukan secara terpadu, yaitu suatu pengelolaan sumberdaya yang berkesinambungan dan dinamis dengan mempertimbangkan segenap aspek sosialekonomi- budaya dan aspirasi masyarakat pengguna (stakeholder), serta lingkungan, meliputi kebijakan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan pengendalian lingkungan Dalam pengelolaan sumberdaya perikanan khususnya ikan Teri di perairan Tegal, harus dilakukan secara terpad berbasis masyarakat/komunitas. Sistem Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Pantai Berbasis Masyarakat ini, masyarakat diberikanan kesempatan dan tanggung jawab dalam melakukan pengelolaan terhadap sumberdaya yang dimiliki, dimana masyarakat sendiri yang mendefinisikan kebutuhan, tujuan dan aspirasinya serta masyarakat itu pula yang membuat keputusan demi kesejahteraannya. Disamping itu, dalam pengelolaan sumberdaya pesisir terpadu berbasis masyarakat harus melibatkan berbagai pihak yang mempunyai kekuatan hukum, sehingga apabila terjadi pelanggaran dalam pelaksanaan kesepatan dapat diselesaikan dengan hukum dan peraturan yang telah disepakati.


















KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Berdasarkan hasil dalam penelitian ini, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Hasil tangkapan lestari (MSY) sumberdaya Teri dengan alat tangkap Payang jabur di Tegal sebesar 676.588,06 kg/tahun, sedangkan Maximum Economic Yield sebesar 675.461,86 kg/tahun, maka untuk pengelolaan sumberdaya Teri saat ini effort optimumnya sebesar 18.778,07 trip.
2. Sumberdaya Teri nasi pada Maximum Sustainable Yield tingkat upaya penangkapan optimum sebesar 20.235,23 trip dan stok maksimum lestari sebesar 354.025,97 kg/tahun, sedangkan Maximum Economic Yield tingkat upaya penangkapan optimum sebesar 19.001,42 trip dan stok maksimum lestari sebesar 352.709,81 kg/tahun.
3. Pengelolaan sumberdaya ikan Teri dengan alat tangkap Payang jabur di perairan Tegal saat ini sudah lebih tangkap dengan effort sebesar 23.634 trip dan produksi sebesar 649.794 kg.

Saran
Dari kesimpulan tersebut dapat disarankan untuk pengelolaan sumberdaya ikan Teri dengan alat tangkap Payang jabur di perairan Tegal perlu dilakukan strategi pengelolaan berupa :
1. Pengurangan jumlah trip sampai 25,86 % untuk hasil tangkapan Teri secara umum, untuk Teri nasi sebesar 19,60 %, sedangkan untuk Teri jawa sebesar 34,65 %.
2. Pembatasan kouta penangkapan Payang jabur dengan hasil tangkapan ikan Teri sebesar 28,58 kg/trip. Untuk Teri nasi sebesar 14,92 kg/trip, sedangkan Teri jawa sebesar 13,21 kg/trip.
3. Modifikasi alat (kantong alat tangkap Payang jabur tidak menggunakan waring)
4. Pembatasan waktu penangkapan terutama pada musim pemijahan (musim rawan penangkapan), yaitu pada bulan Januari sampai dengan Pebruari.



DAFTAR PUSTAKA


Anna S. 2003. Model Embedded Dinamik Ekonomi Interaksi Perikanan
Pencemaran. [Disertasi] (tidak dipublikasikan). Bogor. Institut Pertanian
Bogor. Program Pasca sarjana. 371 hal.
Asman ZR. 2008. Analisis Bioekonomi Pemanfaatan Optimal Sumberdaya
Perikanan Pelagis dan Demersal di Perairan Balikpapan Kalimantan
Timur. [Tesis] (tidak dipublikasikan). Bogor. Institut Pertanian Bogor.
Program Pasca sarjana. 162 hal.
Aziz KA. 1989. Pendugaan Stok Populasi Ikan Tropis. Bogor. Pusat Antar
Universitas Ilmu Hayat. Institut Pertanian Bogor. 251 hal.
[BBPHMP] Balai Bimbingan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan. 1996.
Pemetaan Jenis Olahan Tradisional di Indonesia. Direktorat Jendral
Perikanan. Jakarta.
Kusumastanto T. 2002. Sistem Kuota Penangkapan Ikan. Warta Pesisir dan
Lautan. 04: 8-11. Bogor: PKSPL-IPB.
Lipsey RG, PN Courant, DD Purvis, PO Steiner. 1993. Economics. Canada:
Harper Collins College Publisher. 881 p.
[LP ITB-BPLHD Jawa Barat] Lembaga Penelitian Institut Teknologi Badung dan
Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah Pemerintah Propinsi Jawa
Barat. 2001. Atlas Kawasan
Sparre P dan SC Venema. 1999. Introguksi Pengkajian stok ikan Tropis Buku I.
Penterjemah Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. (Berdasarkan Kerjasama dengan
Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa). Jakarta:
Pusat.
Subani W dan HR Barus. 1988. Alat Penangkapan Ikan dan Udang laut di
Indonesia. Di dalam : Jurnal Penelitian Laut No. 50 Th. 1988/1989.
Jakarta : Balai Peneliti Perikanan Laut. 248 hal.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar