“Analisa
Pengelolaan Pembenihan Kerapu Macan (Epinephelus Fuscoguttatus))”
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ikan Kerapu Macan (Epinephelus
fuscoguttatus) merupakan ikan yang habitat hidupnya di karang dan di dasar
perairan berbatu, berdiam diri di dalam lubang-lubang untuk menunggu mangsa.
Dapat hidup di air laut maupun air payau karena mempunyai toleransi tinggi
terhadap salinitas yaitu 15-35 ppt. Daerah penyebaran kerapu macan di mulai
dari Afrika Timur, Fasifik Barat Daya, Australia, Taiwan, Mikronesia, dan
Polinesia. Sedangkan di perairan Indonesia yang populasinya cukup banyak adalah
perairan Sumatera, Jawa, Sulawesi dan Pulau Buru (Mayunar; et.al.1991).
Ikan Kerapu (Epinephelus sp)
umumnya dikenal dengan istilah “groupers” dan merupakan salah satu komoditas
perikanan yang mempunyai peluang baik dipasarkan domestik maupun padar
internasional dan selain itu nilai jualnya cukup tinggi. Eksport ikan kerapu
melaju pesat sebesar 350% yaitu dari 19 ton.pada tahun 1987 menjadi 57 ton pada
tahun 1988 (Deptan, 1990).
Ikan Kerapu mempunyai sifat-sifat
yang menguntungkan untuk dibudidayakan karena pertumbuhannya cepat dan dapat
diproduksi massal untuk melayani permintaan pasar ikan kerapu dalam keadaan
hidup.Berkembangnya pasaran ikan kerapu hidup karena adanya perubahan selera
konsumen dari ikan mati atau beku kepada ikan dalam keadaan hidup, telah
mendorong masyarakat untuk memenuhi permintaan pasar ikan kerapu melalui usaha
budidaya.
Budidaya ikan kerapu telah
dilakukan dibeberapa tempat di Indonesia, namun
dalam proses pengembangannya masih menemui kendala, karena keterbatasan benih.
Selama ini para petani nelayan masih mengandalkan benih alam yang sifatnya
musiman. Namun sejak tahun 1993 ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus)
sudah dapat dibenihkan, Balai Budidaya Laut
Lampung sebagai unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal Perikanan,telah
melakukan upaya untuk menghasilkan benih melalui pembenihan buatan manipulasi
lingkungan dan penggunaan hormon.
Kerapu macan mempunyai sifat hidup
soliter, dimana hidupnya tidak bergerombol, baik saat mencari makan maupun
dalam keadaan bahaya. Namun pada saat akan memijah kerapu macan akan
bergerombol, ini terjadi beberapa hari sebelum bulan purnama penuh pada malam
hari. Di Indonesia, musim pemijahan ikan kerapu macan terjadi bulan Juli –
September dan November – Februari, terutama di Perairan Kepulauan Riau, Karimun
Jawa dan Irian
Jaya. Dalam satu tahun musim pemijahan terjadi sebanyak 6-8 kali, sedangkan
pemijahan pertama (prespawning) terjadi 1-2 kali pemijahan dalam setahun
(Basyarie, A. 1989).
Ikan Kerapu macan (Epinephelus
fuscoguttatus) umumnya
dikenal dengan istilah “groupers” dan merupakan salah satu komoditas perikanan
yang mempunyai peluang baik dipasarkan domestik maupun pada internasional dan
selain itu nilai jualnya cukup tinggi. Ekspor ikan kerapu macan melaju pesat sebesar 350% yaitu dari 19 ton pada tahun 1987 menjadi 57 ton
pada tahun 1988. Ikan Kerapu
macan (Epinephelus fuscoguttatus) mempunyai sifat-sifat yang
menguntungkan untuk dibudidayakan karena pertumbuhannya cepat dan dapat
diproduksi massal untuk melayani permintaan pasar ikan kerapu dalam keadaan
hidup. Berkembangnya pasaran ikan kerapu hidup karena adanya perubahan selera
konsumen dari ikan mati atau beku kepada ikan dalam keadaan hidup, telah
mendorong masyarakat untuk memenuhi permintaan pasar ikan kerapu melalui usaha
budidaya (Mayunar; et.al. 1991).
Budidaya ikan kerapu macan (Epinephelus
fuscoguttatus) telah dilakukan dibeberapa tempat di Indonesia, namun dalam
proses pengembangannya masih menemui kendala, karena keterbatasan benih. Selama
ini para petani nelayan masih mengandalkan benih alam yang sifatnya musiman.
Namun sejak tahun 1993 ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus)
sudah dapat dibenihkan, Balai Budidaya Laut Lampung sebagai Unit Pelaksana
Teknis Direktorat Jenderal Perikanan, telah melakukan upaya untuk menghasilkan
benih melalui pembenihan buatan, manipulasi
lingkungan dan penggunaan hormon (Basyarie, A. 1989).
Ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) mempunyai bentuk badan yang
pipih memanjang dan agak membulat (Mucharie, A; et.al. 1991). Mulut lebar dan di dalamnya terdapat gigi kecil yang runcing (Kordi, 2001),
menjelaskan bahwa rahang bawah dan atas dilengkapi dengan gigi yang berderet 2
baris lancip dan kuat.
Gambar 1. Induk Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus)
Kerapu macan (Epinephelus
fuscoguttatus) mempunyai jari-jari sirip yang keras pada sirip punggung 11
buah, sirip dubur 3 buah, sirip dada 1 buah dan sirip perut 1 buah. Jari-jari
sirip yang lemah pada sirip puggung terdapat 15-16 buah, sirip dubur 8 buah,
sirip dada 17 buah dan sirip perut 5 buah. Kerapu macan (Epinephelus
fuscoguttatus) memiliki warna seperti sawo matang dengan tubuh bagian
verikal agak putih. Pada permukaan tubuh terdapat 4-6 pita vertical berwarna
gelap serta terdapat noda berwarna merah seperti warna sawo (Mucharie, A; et.al. 1991).
Klasifikasi
Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus)
Menurut (Mucharie, A; et.al. 1991), menjelaskan bahwa kerapu macan (Epinephelus
fuscoguttatus) diklasifikasikan sebagai berikut :
Phylum
:
Chordata
Sub
phylum : Vertebrata
Class
: Osteichtyes
Sub class
: Actinopterigi
Ordo
: Percomorphi
Sub ordo
: Percoidea
Family
: Serranidae
Sub family
: Epinephelinae
Genus
: Epinephelus /Cromileptes / Variola/ Plectropomus,
Spesies
: (Epinephelus fuscoguttatus)
Habitat Ikan
Kerapu Macan (Ephinepelus fuscoguttatus)
Adapun habitat ikan kerapu macan (Epinephelus
fuscoguttatus) hidup diperairan karang pantai dengan kedalaman 0,5 –
3 m, selanjutnya menginjak dewasa beruaya keperairan yang lebih dalam antara 7
– 40 m, biasanya perpindahan ini berlansung pada senja dan siang hari. Telur
dan larva bersifat pelagis sedangkan kerapu muda dan dewasa bersifat domersal.
Habitat favorit larva dan kerapu macan muda adalah pantai dekat muara sungai
dengan dasar pasir berkarang yang banyak ditumbuhi padang lamun. Kebanyakan
ikan kerapu tinggal di terumbu karang dan sekitarnya, meskipun ada pula yang
hidup di pantai sekitar muara sungai. Kerapu besar biasanya ditemukan
diperairan pantai yang berlumpur di depan muara
sungai (Mucharie, A; et.al. 1991).
Reproduksi
Ikan Kerapu Macan (Ephinepelus fuscoguttatus)
Ikan kerapu macan (Epinephelus
fuscoguttatus) bersifat hermaprodit protogini yang berarti setelah mencapai
ukuran tertentu, akan berganti kelamin (change sex) dari betina dewasa
menjadi jantan. Perubahan jenis kelamin ini memerlukan dalam waktu cukup lama
dan terjadi secara alami. Biasanya perubahan kelamin terjadi ketika ikan
mencapai berat 7 kg. (Sudjiharno, 2003).
Ikan kerapu macan (Epinephelus
fuscoguttatus) betina
ketika akan memijah akan mendekati ikan jantan. Bila waktu memijah tiba, ikan
jantan dan ikan betina akan berenang bersama- sama di permukaan air.
Pemijahan biasanya terjadi pada malam hari pada saat bulan gelap. Jumlah telur
yang dihasilkan dalam satu kali pemijahan tergantung dari berat tubuh
ikan betina. Misalnya ikan yang beratnya 8 Kg dapat menghasilkan telur
1.500.000 telur. Telur yang telah dibuahi bersifat non adhesive yaitu telur
yang satu tidak melekat pada telur yang lainnya. Bentuk telur adalah bulat dan
transparan dengan garis tengah sekitar 0,80 – 0,85 mm. telur yang dibuahi akan
menetas menjadi benih yang aktif berenang
(Sudjiharno, 2003).
Cara Makan
dan Jenis Makanan Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus)
Ikan kerapu macan (Epinephelus
fuscoguttatus) merupakan hewan karnifora yang memangsa ikan-ikan kecil,
kepiting, dan udang-udangan, sedangkan larva ikan kerapu macan memangsa larva
moluska. ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) bersifat
karnifora dan cenderung menangkap/memangsa yang aktif bergerak di dalam air
(Sudjiharno, 2003), ikan kerapu macan juga bersifat kanibal. Biasanya mulai
terjadi saat larva kerapu berumur 30 hari, dimana pada saat itu larva cenderung
berkumpul di suatu tempat dengan kepadatan tinggi.
Ikan kerapu macan (Epinephelus
fuscoguttatus) mencari makan hingga menyergap mangsa dari tempat
persembunyiannya dengan cara makannya dengan memakan satu per satu makanan yang
diberikan sebelum makanan tersebut sampai ke dasar perairan (Sudjiharno, 2003).
PEMBAHASAN / ISI
Proportion Of Pond
Tangki indukan
digunakan tidak hanya untuk pemeliharaan dan pembesaran, namun juga untuk
pemijahan. Karena ukuran indukan ikan kerapu macan yang besar (biasanya > 10
kg), maka lebih baik menggunakan tangki indukan yang berukuran besar, yang
berkisar antara 50–100 m3. Tangki harus berbentuk bundar, kotak atau
persegi panjang dengan sudut membulat. Warna tangki yang disarankan adalah
biru, hijau atau abu-abu dengan intensitas cahaya yang sedang, tidak terlalu
terang ataupun gelap warnanya. Terdapat kesepakatan umum bahwa kedalaman tangki
paling tidak 2,0 dan sebaiknya > 2,5 m guna memberikan ruang yang cukup
untuk perilaku pemijahan saat pasangan atau kelompok ikan berenang ke atas dari
dasar tangki saat pelepasan sel telur dan sperma (Okumura dkk. 2003; Sudaryanto
dkk. 2004). Setiap tangki memiliki pipa overflow dengan tangki penampung telur
yang dilengkapi jaring untuk menampung. Disarankan untuk memasang atap pada
tangki indukan untuk mengurangi pertumbuhan ganggang pada dinding tangki, yang
akan mempersulit pengumpulan telur dan meningkatkan risiko serangan parasit.
Selain itu, tangki yang kotor perlu sering dibersihkan. Bila tangki terlalu
sering dibersihkan dapat menyebabkan stress pada indukan dan mengakibatkan
kegagalan pemijahan atau menurunkan kualitas telur yang dihasilkan
Tangki/Bak induk harus
berupa sistem air mengalir dengan volume pergantian air sebanyak 200–300% per
harinya. Air laut yang digunakan untuk tangki indukan harus disaring supaya
jernih dan tidak ada kotoran yang masuk, dengan salinitas yang stabil berkisar
antara 33–35 ppt dan suhu air berkisar antara 27,0–30,5°C.
Tangki yang diletakkan
di luar ruangan terkena pengaruh fotoperiode yang alami, sementara tangki yang
berada di dalam ruangan dapat diberikan pencahayaan buatan (Gambar 9) untuk
mensimulasikan rezim fotoperiode yang berbeda. Secara umum, fotoperiode dan
suhu tampaknya berdampak kecil terhadap periode atau keberhasilan pemijahan
ikan kerapu.
Gambar 1 Tanki beton yang digunakan untuk menampung indukan ikan kerapu macan di Balai Budidaya Air Payau Ujung Batee, Aceh, Indonesia. Setiap tangki mempunyai volume kurang lebih 50 m3 (Foto: M. Rimmer)
Gambar 2 Tangki
fiberglass digunakan untuk menampung indukan kerapu macan di Northern
Fisheries Centre, Cairns, Queensland, Australia. Tangki-tangki di bagian
depan mempunyai volume sekitar 20 m3 dan masing-masing dilengkapi
dengan sistem resirkulasi yang terdiri dari filter biologis (tangki putih yang
ditaruh di atas) dan sistem ozon untuk menjaga kualitas air, dan penukar panas
untuk menjaga suhu air. Sebagian tangki tersebut tertutup (di latarnya) dan
dilengkapi dengan sistem pencahayaan yang dikendalikan komputer untuk mengatur
panjang hari serta suhu air. (Foto: Queensland Department of Primary Industries
and Fisheries)
Indukan
Dan Pemijahannya
Cara Perolehan
Seleksi dan pencatatan
calon indukan yang akan digunakan untuk pembenihan sangatlah penting. Indukan
kerapu macan (Gambar 7) dapat diperoleh dengan cara menangkap atau membeli ikan
liar. Induk jantan dan betina dewasa sukar untuk dibedakan dari penampakan
luarnya, oleh karena itu diperlukan ikan dalam berbagai ukuran.
Kerapu macan, seperti
anggota subfamili Epinephelinae lainnya, memiliki sifat hermafrodit protogini,
yaitu tumbuh dewasa sebagai betina pada awalnya, dan kemudian berganti kelamin
menjadi jantan pada usia yang lebih lanjut (Pir dkk.
2007). Ukuran terkecil
kerapu macan dewasa yang ditangkap dari alam liar yang tercatat di RIM Gondol
adalah 3,7 kg (betina) dan 8,2 kg (jantan). Di Filipina, ukuran terkecil yang
tercatat dari kerapu macan dewasa yang tumbuh di penangkaran dan diberi makan
pelet kering adalah 2,2 kg (betina) dan
3,5 kg (jantan).
Cara lain untuk
memperoleh indukan adalah dengan cara membesarkan ikan hasil pembenihan. Ikan
yang dibesarkan di keramba, kolam atau tangki, sudah terbiasa dengan kondisi
pembudidayaan sehingga lebih mudah dijadikan indukan. Namun, diperlukan waktu
sekitar 4 tahun untuk membesarkan kerapu macan juvenil hingga mencapai ukuran
indukan. Moretti dkk. (1999) mencatat sifat-sifat yang dapat dijadikan
indikator untuk memilih induk ikan yang baik pada seabass Eropa (Dicentrarchus
labrax) dan ikan gilthead seabream (Sparus aurata). Indikator
tersebut dapat diterapkan pada ikan kerapu, diantaranya:
·
Bentuk tubuh dan warna yang normal
·
Tidak adanya kelainan bentuk tulang
·
Status yang sehat secara keseluruhan,
yaitu tidak adanya luka yang besar, pendarahan,
infeksi dan parasit
·
Perilaku yang normal, seperti reaksi
yang baik terhadap pemberian makanan, daya
apung yang terkendali agar dapat mempertahankan posisi di kolom air
·
Pertumbuhan dan tingkat konversi pakan
yang terbaik dalam kelompok umurnya.
Pengangkutan
Ikan indukan, termasuk
kerapu, harus diangkut dalam tangki yang berwarna gelap dan tertutup yang
berisi air yang diaerasi atau diberi oksigen untuk mengurangi stres. Kadar
oksigen terlarut harus dipertahankan pada kejenuhan > 75% sepanjang waktu.
Biusan ringan, menggunakan obat bius yang biasa digunakan untuk membius ikan,
dapat dipakai untuk mengurangi stres dan membuat penanganan ikan lebih mudah
dan aman. Ikan yang akan diangkut tidak boleh diberi makan paling tidak 24 jam
sebelum pengangkutan untuk mencegah kotoran dan muntahan pakan yang dapat
mengotori air pengangkut.
Perlakuan
sebelum penebaran ikan
Sebelum ikan ditebar ke dalam tangki indukan,
disarankan untuk melakukan karantina guna mengurangi kemungkinan ikan baru
menularkan parasit atau penyakit pada ikan yang sudah ada di tangki. Proses ini
biasanya memakan waktu antara 1 dan 4 minggu, dan dapat dilakukan dalam tangki
kecil (0,5-2 m3) untuk mempermudah pertukaran air dan penanganan
ikan. Selama masa karantina, pengelolaan indukan berfokus untuk mengurangi
beban parasit ikan dengan cara merendam ikan tersebut dalam air tawar selama 5
menit untuk membantu menghilangkan parasit yang umum seperti cacing kulit (Benedenia
spp dan Neobenedenia spp.), Protozoa (misalnya Cryptocaryon irritans)
dan parasit copepoda (misalnya Caligus spp.) (Koesharyani dkk. 2005).
Yang perlu diperhatikan adalah merendam dengan air tawar sekali saja tidak
akan sepenuhnya menghilangkan parasit protozoa seperti C. irritans.
Walaupun tahap theront yang terlihat dari protozoa ini dapat dihilangkan dengan
proses perendaman air tawar, pada tahap trofon protozoa itu terbungkus dalam
jaringan epitelium sehingga tidak terpengaruh oleh perendaman air tawar, oleh
karena itu dibutuhkan karantina dan perawatan air tawar yang berulang-ulang
sebelum ikan yang baru diperoleh ditebar dalam tangki induk.
Jika kualitas air
(terutama suhu dan kadar garam) dalam tangki indukan sangat berbeda dari
lingkungan sebelumnya, ikan harus diaklimatisasi 1 jam sebelum dilepaskan ke
dalam tangki. Untuk mengaklimatisasi ikan, tempatkan mereka dalam tangki yang
diisi dengan air dari tempat ikan itu berasal, dan kemudian sedikit demi
sedikit ditambahkan air dari tangki baru hingga kondisi dalam tangki transfer
dan tangki baru menjadi sama.
Identifikasi
jenis kelamin
Indukan kerapu disimpan
dengan kepadatan yang rendah dalam tangki, biasanya < 1 kg/m3.
Perbandingan jenis kelamin biasanya sekitar 1 jantan untuk 5 betina, tetapi
dapat bervariasi tergantung pada ketersediaan ikan dan pada pengalaman
pelaksana. Seperti disebutkan sebelumnya, kerapu macan bersifat protogini,
sehingga betina akan berganti kelamin menjadi jantan. Namun, dalam tangki
indukan perubahan ini mungkin dicegah secara sosial, dan adanya ikan jantan
dapat menekan perubahan jenis kelamin betina. Jenis kelamin seekor ikan hanya
dapat dipastikan melalui pemeriksaan fisik. Untuk memastikan jenis kelamin,
perut ikan yang sudah dibius dipijat lembut dari arah kepala ke ekor. Seekor
jantan yang siap memijah akan mengeluarkan banyak sperma dari lubang
urinogenitalnya. Jika tidak ada sperma yang keluar, kemungkinan ikan tersebut
adalah jantan yang belum siap memijah atau betina. Kanulasi dari lubang genital
betina perlu dilakukan untuk memperoleh sampel telur guna menilai tahap
perkembangan ovarium. Meskipun demikian, kanulasi kerapu macan betina
seringkali sulit dilakukan jika ikan tidak dalam kondisi pemijahan karena
lubang genitalnya tertutup rapat atau sulit untuk diakses.
Kanula adalah pipa plastik bening yang fleksibel
dengan panjang 40–50 cm (diameter luar 3 mm, dan diameter dalam 1,2 mm), yang
dimasukkan ke dalam lubang urinogenital jantan dan saluran telur betina. Ikan
yang akan dikanulasi dibius terlebih dahulu. Kain atau handuk basah ditempelkan
di atas mata untuk membantu menenangkan ikan. Kanula ini dimasukkan ke dalam
ikan pada kedalaman 6–7 cm dan dilakukan penghisapan pada ujung lain dari
kanula tersebut sebelum kanula itu ditarik keluar dari ikan. Setelah penarikan,
sampel dalam kanula dilepaskan ke slide mikroskop untuk pemeriksaan langsung
atau ke dalam vial berisi larutan formalin buffer netral 1% untuk kemudian
dilakukan pengukuran diameter telur. Umumnya, betina dalam kondisi pemijahan
akan memiliki oosit dengan diameter lebih dari 400–500 μm.
Pemijahan
Indukan kerapu macan
dibiarkan untuk memijah secara alami dalam tangki. Pemijahan umumnya terjadi
pada malam hari (antara jam 9 malam – 3 pagi), Pemijahan berlangsung selama
tiga sampai enam malam setiap bulan selama fase bulan baru. Di RIM Gondol,
indukan kerapu umumnya bertelur sepanjang tahun (Sugama dkk. 2002). Selama
periode pemijahan, kerapu macan dapat bertelur antara 0,8 dan 6,0 juta telur
setiap malam. Di Bali pada bulan Juli dan Agustus, angin dingin selatan
menyebabkan suhu air turun menjadi sekitar 25° C. Selama periode ini, indukan
kerapu macan biasanya berhenti memijah. Kalaupun indukan tersebut memijah
selama periode ini, telur yang dihasilkan hanya sedikit dan kualitasnya rendah
sehingga tidak dapat digunakan untuk produksi pembenihan.
Pemberian Pakan
Indukan diberi makan
sampai kenyang enam kali setiap minggu, empat kali dengan ikan dan dua kali
dengan cumi-cumi. Jadwal pemberian pakan ini mungkin berbeda antara tempat
pembenihan yang satu dengan lainnya bergantung pada ketersediaan ikan dan
cumi-cumi. Gondol ikan yang digunakan sebagai pakan terutama berasal dari
anggota familia Clupeidae (ikan haring) dan Scombridae (makarel). Pakan ini
dilengkapi dengan campuran vitamin dengan jumlah persentase 1% dari pakan.
Campuran vitamin yang dijual secara komersial atau dibuat sendiri sesuai
kebutuhan dapat digunakan; komponen resepnya (yang pada awalnya dikembangkan untuk
indukan kakap putih (Lates calcarifer).
Cara lain untuk
memasukkan vitamin dan mineral dalam pakan induk adalah dengan menggunakan
campuran ‘sosis’ buatan lokal yang terdiri dari campuran ikan dan cumi-cumi
dengan menggunakan enzim transglutaminase sebagai pengikat. Campuran terutama
terdiri dari ikan, cumi, udang atau bahan perikanan lainnya, sedikit tepung
beras (atau lainnya), campuran vitamin dan transglutaminase.
Penggunaan copepoda
calanoid sebagai pakan hidup selama pemeliharaan awal larva kerapu telah
terbukti meningkatkan pertumbuhan dan kesintasan larva (Doi dkk. 1997; Toledo
dkk. 1997, 1999) dan larva kerapu akan memilih nauplii copepoda secara aktif
daripada rotifera (Toledo dkk. 1997), menunjukkan bahwa copepoda adalah mangsa
yang lebih diterima dan bernutrisi dibandingkan rotifer. Namun, copepoda tidak
banyak digunakan dalam pembenihan komersial karena penyediaannya masih sulit
dilakukan dan masih perlu penelitian dan pengembangan kultur masal copepoda.
(McKinnon dkk. 2003).
Membiasakan ikan untuk
memakan pelet memerlukan latihan dengan memberikan pakan pelet sesering mungkin
dalam jumlah sedikit-sedikit sampai ikan terbiasa memakan pelet. Untuk
mengurangi tenaga kerja, belt feeder dapat digunakan untuk memberikan
pakan, baik sebagai aliran pakan yang konstan atau aliran pakan dalam
kelompok-kelompok kecil
Penting untuk secara
teratur mengukur kualitas air di tangki pemeliharaan larva. Jika kualitas air
menurun, mungkin perlu untuk mengganti air dengan tingkat yang lebih tinggi
dibandingkan tingkat yang direkomendasikan di atas. Namun, suhu dan salinitas
air yang digunakan harus sama dengan air yang ada dalam tangki pemeliharaan.
Hal ini dimaksudkan untuk menghindari stress pada larva. Penting juga untuk
mencatat kualitas air, pemberian pakan dan aspek pengelolaan tempat pembenihan
lainnya.
Pembersihan Tangki
Kotoran dan sisa pakan
berlebih yang menumpuk di bagian bawah tangki disiphon secara teratur untuk
mencegah penurunan kualitas air. Dianjurkan untuk membersihkan tangki indukan
setelah proses pemijahan selesai. Hal ini dimaksudkan untuk menghilangkan sisa
telur yang tidak menetas. Telur yang mati akan membusuk dan mencemari air.
Untuk mengurangi kejadian infeksi parasit, indukan harus dimandikan dengan air
tawar selama 5–7 menit pada saat tangki dibersihkan.
Pengumpulan Telur
Ketika terjadi
pemijahan, telur yang telah dibuahi akan terapung dan dikumpulkan melalui
tangki overflow yang ditampung dengan jaring halus (Plankton net) dengan
kerapatan 400 µm (Gambar 12). Telur kerapu yang sudah dibuahi tidak lengket dan
terapung, diameternya bekisar antara 0,8–0,9 mm.
Telur kerapu sensitif
terhadap penanganan, pada fase perkembangan awal, telur boleh dipindahkan dari
jaring pengumpul saat kantung optik pada embrio telah berkembang , yaitu pada
tahap pertumbuhan mata (lihat Gambar 15) (Caberoy dan Quinitio 1998).
Penanganan/pemindahan telur sebelum fase ini akan menyebabkan kematian dan
tingkat abnormalitas larva tinggi (Caberoy dan Quinitio 1998)
Inkubasi
Setelah dicuci dengan
air yang telah diozonisasi, telur dibilas dengan air laut bersih yang telah
didisinfeksi (menggunakan ozon) (Gambar 13). Untuk inkubasi telur yang telah
dicuci, telur dipindahkan ke dalam tangki berukuran 0,5–1,0 m3 yang
sudah diisi air laut dan dilengkapi aerasi. Hanya telur yang terapung yang
digunakan untuk pemeliharaan larva, karena telur ini kemungkinan besar telah
dibuahi dibandingkan dengan telur yang tenggelam yang biasanya tidak dibuahi
atau mati. Telur yang tidak dibuahi mengendap di bagian bawah tangki induk dan
harus dibersihkan dengan cara disiphon. Apabila ada telur yang belum dibuahi
yang masuk ke dalam tangki inkubasi, telur tersebut harus dihisap keluar dan
dibuang untuk mencegah penurunan kualitas air. Nilai yang direkomendasikan
sebagai kondisi di dalam tangki inkubasi
Evaluasi
kualitatif telur
Kualitas telur ikan
laut bersirip umumnya dievaluasi dengan menggunakan dua cara yaitu metode
kualitatif dan kuantitatif.
Telur yang telah
dibuahi (Gambar 14) diperiksa di bawah mikroskop (cukup dengan perbesaran 10×
atau 20x) dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
>>
telur harus berbentuk teratur
>>
pada tahap awal perkembangan embrio, masing-masing sel harus berukuran teratur
>>
telur dan embrio harus benar-benar tembus pandang, tanpa adanya daerah gelap
>> korion (kulit telur)
harus bebas dari parasit atau organisme penempel.
Prosedur Pemeliharaan Larva
Untuk
tangki persegi panjang, sudut-sudut tangki harus dibulatkan untuk menghindari
agregasi larva di sudut tangki. Ukuran yang dianjurkan untuk tangki pembesaran
larva bervolume sekitar 10 m3 dengan kedalaman 1,2 m. Berdasarkan
pengalaman dalam membesarkan beberapa spesies larva kerapu di RIM Gondol, warna
yang dianjurkan untuk tangki pemeliharaan larva adalah kuning terang atau biru
muda (Gambar 17). Warna-warna ini memungkinkan larva kerapu membedakan mangsa
(seperti rotifera dan udang laut) dengan lebih mudah, dan membuat manajemen
tangki, terutama pembersihan, lebih mudah.
Aerasi
harus disediakan dalam pola ‘grid’ (berkisi-kisi) guna memastikan
pengadukan air dalam tangki merata dan untuk memastikan kadar oksigen terlarut
merata di seluruh tangki. Batu aerasi harus ditempatkan di setiap sudut tangki
untuk mencegah stagnasi. Aerasi harus lemah selama tahap awal pemeliharaan
larva, untuk mencegah kerusakan larva secara fisik. Aerasi dapat dikeraskan
selama siklus pemeliharaan larva, seiring dengan semakin kuatnya larva.
Air
untuk tangki pembesaran larva, sebagai persyaratan minimum, harus
disaring melalui saringan pasir (Gambar 18). Sistem filtrasi dan perlakuan pada
air yang yang lebih kompleks, seperti disinfeksi ultraviolet atau ozon dan
penggunaan saringan cartridge, akan membantu mempertahankan biosekuriti dalam
pembenihan. Tangki pemeliharaan larva setidaknya harus beratap untuk
menghindari sinar matahari langsung dan hujan. Lebih baik lagi menaruh tangki
pemeliharaan larva dalam gedung. Hal ini akan membantu menjaga suhu air yang
optimal, stabil, mengurangi fluktuasi suhu air diurnal dan memfasilitasi
biosekuriti.
Praktek terbaik
untuk pemeliharaan larva kerapu
>>
Padat tebar awal 10 ekor larva/L
>>
Menambahkan pakan hidup berupa phytoplankton dan zooplankton yang telah
diperkaya dengan DHA
>>
Menjaga kualitas air yang optimal
>>
Memeriksa dan memelihara kepadatan makanan di tangki secara berkala
>>
Memeriksa larva di bawah mikroskop untuk melihat kondisi perut dan tanda-tanda
penyakit secara berkala
>>
Menyimpan pakan buatan dan bahan pengayaan dalam lemari es atau ruang
berpendingin
>>
Menyimpan catatan pemberian pakan, kualitas air dan aspek lain selama mengelola
tempat pembenihan yang baik
Permasalahan
dalam pemeliharaan larva
Ada beberapa
masalah yang biasa ditemui dalam pemeliharaan larva spesies Epinephelus,
termasuk E. fuscoguttatus.
Mortalitas
agregat permukaan
Larva
kerapu tertarik pada sinar matahari yang terpancar dalam tangki (fototaksis
positif), larva akan berenang menuju sinar. Hal ini sering mengakibatkan (a)
larva menjadi ‘terjebak’ di permukaan air atau (b) sekelompok larva yang
siripnya terjerat satu sama lain. Kedua kebiasaan larva ini mengakibatkan
kematian tingkat awal.
Untuk
mengurangi masalah ini, hindari cahaya langsung ke tangki dan usahakan
intensitas cahaya merata di permukaan tangki larva sehingga larva menyebar
dalam tangki. Untuk mencegah kematian karena tegangan di permukaan, minyak
dapat ditambahkan dua kali sehari ke tangki (sekitar 0,2 ml/m2) untuk membentuk
film tipis di DAH 1-5 (Yamaoka dkk. 2000).
Mortalitas
larva pada awal makan
Biasanya
kematian larva banyak terjadi pada saat gagal makan awal dari luar. Sampel
larva harus diperiksa di bawah mikroskop sekitar waktu makan pertama kalinya
(DAH 3) untuk memastikan bahwa mereka berhasil makan rotifera yang telah
disediakan. Jika larva gagal makan, periksa ukuran dan kepadatan pakan hidup
guna memastikan bahwa pakan yang diberikan cukup ukuran dan kepadatannya.
Viral
nervous necrosis (VNN)
VNN
merupakan penyakit virus yang umum dijumpai dalam pembesaran larva ikan laut
bersirip termasuk kerapu (Harikrishnan dkk. 2011; Manin dan Ransangan 2011).
Penyakit menular ini disebabkan oleh nodavirus dan juga dikenal sebagai virus
ensefalopati dan retinopati. Sulit untuk menghilangkan VNN sepenuhnya dari
tempat pembenihan, namun kejadian wabah VNN dapat dikurangi dengan mengikuti
pedoman ‘praktik terbaik’ dalam manual ini.
Sumber
VNN di tempat pembenihan belum ditetapkan: mungkin saja ditularkan secara
vertikal (dari indukan, melalui telur dan sperma) maupun horizontal (dari air
yang dipakai untuk menyiram tangki, atau dalam budidaya pakan hidup).
Penelitian
saat ini menunjukkan bahwa sebagian besar wabah VNN di pembenihan ikan laut
bersirip daerah tropis adalah karena penularan horizontal (Hick dkk. 2011;
Manin dan Ransangan 2011). Biosekuriti yang ketat adalah pertahanan terbaik
untuk mencegah mewabahnya VNN (Hick dkk. 2011).
Gejala
VNN yang paling jelas adalah disorientasi ikan, yang berenang dalam pola
‘spiral’. Hal ini sering disertai dengan perubahan warna kulit, ikan biasanya
menjadi lebih gelap. Wabah VNN dapat menyebabkan kematian substansial hanya
dalam beberapa hari, dan dalam kasus terburuk akan menghabiskan jalannya
seluruh produksi.
Diagnosis
VNN yang akurat dapat dilakukan dengan analisis histopatologi dan deteksi
dengan Polymerase Chain Reaction (PCR). Uji PCR saja tidak cukup untuk
mendiagnosa VNN sebagai penyebab mewabahnya penyakit – PCR hanya menegaskan
kehadiran virus. Pemeriksaan histologis tambahan diperlukan untuk
mengkonfirmasi bahwa penyakitnya benar VNN. Pemeriksaan histologis harus
berfokus pada mata, otak dan sumsum tulang belakang. VNN akan menunjukkan
pembentukan banyak vakuola di retina, otak dan jaringan saraf tulang belakang.
Jika
wabah VNN terjadi, pastikan bahwa tangki yang terkontaminasi VNN harus
dikarantina secara ketat dan tidak ada perpindahan ikan atau peralatan dari
tangki yang terkontaminasi ke tangki yang tidak terkena. Personil yang
menangani ikan yang terinfeksi harus mensterilkan tangan dan sepatu serta
berganti pakaian sebelum mengakses daerah yang tak terinfeksi. Jika wabah
sangat parah dan kemungkinan akan mengakibatkan hilangnya hampir semua ikan
dalam tangki, ikan yang berada di tangki yang terkena dampak dianjurkan untuk
dibunuh serta tangki dan perlengkapan terkait (jaring, ember, batu beraerasi,
selang beraerasi, dll) didisinfeksi untuk mengurangi kemungkinan wabah menyebar
ke tangki lainnya. Jika wabah ringan, buanglah larva yang mati atau sekarat
secara berkala (beberapa kali per hari) dan bunuh/ disinfeksi larva sebelum
dibuang dengan menggunakan klorin atau disinfektan serupa. Sterilkan jaring dan
perlengkapan lainnya setelah pemeriksaan setiap tangki.
Sindrom
‘Shock’
Masalah lain yang
terjadi dalam pemeliharaan larva kerapu adalah sindrom ‘shock’. Hal ini
biasanya terjadi sekitar DAH 20, peningkatan prevalensi sekitar DAH 25. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa perbaikan komposisi nutrisi dalam pakan hidup
untuk larva kerapu lumpur (E. coioides) dengan menggunakan suplemen
nutrisi secara dramatis dapat mengurangi kejadian
sindrom ‘shock’ pada
larva yang sedang dibudidayakan. Hasil ini menunjukkan bahwa sindrom ‘shock’
berhubungan dengan kekurangan nutrisi, terutama asam lemak esensial. Penggunaan
suplemen nutrisi yang kadar asam lemak esensialnya tinggi, terutama DHA, akan
mengurangi insiden dan parahnya sindrom ‘shock’ pada larva kerapu
Kanibalisme
Selama tahap akhir
pemeliharaan larva, kanibalisme mungkin mulai menjadi masalah dalam tangki
pembesaran larva. Kanibalisme kerapu dibahas secara lebih rinci dalam publikasi
‘Pengelolaan Pendederan Ikan Kerapu’ di serial ini (Ismi dkk. 2013). Namun,
secara umum, untuk mengurangi kanibalisme:
·
pastikan bahwa setiap pagi, saat fajar
makanan untuk larva selalu tersedia dan cukup tersedia untuk larva. Jika larva
ikan sudah memakan pelet, pakan pertama kali diberikan pada pagi hari saat
fajar. Jika menggunakan pakan hidup, pastikan kepadatan organisme pakan hidup
mencukupi saat fajar atau diberikan pakan hidup sebelum fajar setiap harinya
·
berikan pakan buatan (pellet) sesering
mungkin dengan interval 1–2 jam
·
pada saat akhir pemeliharaan pertahankan
intensitas cahaya disekitar 600 lux
·
Hindari grading hingga mencapai
fase metamorfosis dan lakukan grading saat ikan sudah bersisik dan kuat
(biasanya ukuran TL 2,0–2,5 cm).
DAFTAR
PUSTAKA
Melawati,
Regina & Ketut Suwirya. 2010. Optimasi Tingkat Pemberian Pakan Terhadap
Pembenihan Kerapu Sunu (Prectopomus
Leopardus). Jurnal Prosiding Forum
Inovasi Teknologi Akuakultur. Bali, hal 398-420
Boonyaratpalin,
M. 1997. Nutrient requirement of marine food fish cultured in South East Asia.
Aquaculture, 151: 283-313
Ismi S., Sutarmat T., Giri N.A., Rimmer M.A.,
Knuckey R.M.J., Berding A.C. and Sugama K. 2013. Pengelolaan pendederan ikan
kerapu: suatu panduan praktik terbaik. ACIAR Monograph No. 150a. Australian
Centre for International Agricultural Research: Canberra.
Takeuchi,
T. 1988. Laboratory work chemical evaluation of dietary nutrients. In Watanabe,
T. (editor) Fish nutrition and mariculture. Kanagawa International Fisheries
Training Center. JICA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar